Minggu, 23 Desember 2012

Jangan Biarkan Eksistensi Pendidikan Semakin Meredup


Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat vital bagi pembentukan karakter. Tanpa pendidikan, sebuah bangsa atau masyarakat tidak akan pernah mendapatkan kemajuaanya sehingga menjadi bangsa atau masyarakat yang kurang atau bahkan tidak beradab.
Karena itu, sebuah peradaban yang memberdayakan akan lahir dari suatu pola pendidikan dalam skala luas yang tepat guna dan efektif bagi konteks dan mampu menjawab segala tantangan zaman.
Pendidikan menjadi harapan dan tumpuan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia. Pendidikan merupakan sarana bagi pembentukan intelektualitas, bakat, budi pekerti/ akhlak serta kecakapan peserta didik.
Hal ini sebagaimana tersurat dan tersirat dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dunia pendidikan di masa depan memang dituntut untuk lebih dekat lagi dengan realitas dan permasalahan hidup yang tengah menghimpit masyarakat. Ungkapan school is mirror society (sekolah/lembaga pendidikan adalah cermin masyarakat) seyogyanya benar-benar mewarnai proses pendidikan yang sedang berlangsung. Sebagai konsekuensinya, lembaga pendidikan harus ikut berperan aktif dalam memecahkan problem sosial.
Persoalan yang kerap muncul adalah, banyak kalangan yang menganggap bahwa pendidikan itu selalu berurusan dengan sekolah, duduk di kelas, harus ada guru, harus ada gedung, harus ada jadwal yang tetap, dan sebagainya.
Umumnya orang mendefinisikan pendidikan sebagai kegiatan belajar di sekolah. Belajar untuk mengukur inteligensi, kecakapan dan kemampuan belajar lainnya.
Dalam proses kehidupannya, manusia dalam sepanjang hidupnya selalu akan menerima pengaruh dari tiga lingkungan pendidikan yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keluarga merupakan tempat yang pertama dan utama pendidikan orang-seorang (individu) maupun pendidikan sosial.
Keluarga itu tempat pendidikan yang sempurna sifat dan wujudnya untuk melangsungkan pendidikan kearah pembentukan pribadi yang utuh. Peran orang tua dalam keluarga sebagai penuntun, pengajar, dan sebagai pemberi contoh.
Drijarkara mengemukakan bahwa pendidikan secara prinsip adalah berlangsung dalam lingkungan keluarga. Pendidikan merupakan tanggungjawab orang tua, yaitu ayah dan ibu bertanggungjawab membantu memanusiakan, membudayakan, dan menanamkan nilai-nilai terhadap anaknya. Bimbingan tersebut akan berakhir apabila sang anak menjadi dewasa, menjadi sempurna atau manusia paripurna.
Dalam menunjang mutu pendidikan, masyarakat harus dijadikan sebagai pendukung utama sekolah (stakeholders atau user), masyarakat harus bertanggung jawab kepada sekolah karena mereka menyadari bahwa sekolah pada dasarnya sedang mendidik anak-anak mereka atau rakyat mereka sendiri. Oleh karena itu, keberhasilan pendidikan sekolah didaerah tertentu pada dasarnya juga keberhasilan masyarakat di daerah tersebut.
Masyarakat, sebagaimana dikatakan Ary H Gunawan, memiliki fungsi sebagai penerus budaya dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Proses ini berlangsung dinamis, sesuai situasi dan kondisi serta kebutuhan masyarakat. Dalam konteks kemasyarakatan, pendidikan diartikan sebagai proses sosialisasi, yaitu sosialisasi nilai, pengetahuan, sikap, dan keterampilan antargenerasi.
Di antara tiga pusat atau lembaga pendidikan, sekolah merupakan sarana yang secara sengaja dirancang untuk melaksanakan pendidikan. Sekolah kini telah menjadi alternatif utama karena sistem administrasi modernnya sebagai sarana pembelajaran. Sekolah dianggap sebagai sebuah sistem yang secara khusus terkait dengan proses belajar-mengajar atau proses belajar-mengajar atau proses pendidikan.
Soedjatmoko (1991) mengemukakan bahwa sekolah adalah lembaga pendidikan yang secara potensial paling strategis bagi terjadinya proses sosialisasi berbagai pengetahuan, nilai, sikap, kemampuan yang dicita-citakan yang relevan dengan tuntutan pembangunan nasional.
Untuk itu, diperlukan dukungan penuh dari orang tua dan masyarakat agar sekolah menjadi lembaga pendidikan yang memiliki cukup waktu dan kewibawaan melaksanakan fungsinya secara efisien dan efektif.
Jika mencermati persoalan bangsa dan generasi muda saat sekarang yang fluktuatif, maka mestinya peran ketiga lembaga pendidikan ini menjadi titik sentral dalam memberikan input dan masukan untuk dapat memberikan jalan keluar terhadap persoalan-persoalan sosial ini, yang kerap menjadi biang kerok dan pada akhirnya menjadikan manusia menjadi tidak beradab.
Secara kasat mata, dapat kita melihat dan merasakan bahwa bangsa Indonesia sepertinya telah kehilangan karakter yang telah dibangun berabad-abad. Keramahan, tenggang rasa, kesopanan, rendah hati, suka menolong, solidaritas sosial dan sebagainya yang merupakan jatidiri bangsa seolah-olah hilang begitu saja.
Keadaan ini telah menggugah kesadaran bersama terhadap perlunya memperkuat kembali dimensi moralitas bangsa kita. Fenomena lain yang dapat disaksikan dalam lingkungan kehidupan sosial belakangan ini diwarnai maraknya tindakan barbarisme, vandalisme fisik maupun non-fisik, model-model KKN baru, hilangnya keteladanan pemimpin, sering terjadinya pembenaran politik, larutnya semangat berkorban bagi bangsa dan negara.
Dapat dikatakan, krisis moral yang menimpa bangsa semakin menjadi-jadi yang ditandai maraknya tindak asusila, kekerasan, pembunuhan, perjudian, pornografi, meningkatnya kasus-kasus kenakalan remaja, jumlah pecandu narkoba, dan menjalarnya penyakit sosial yang makin kronis.
Terjadinya krisis multidimensi seperti sekarang ini, sebagian bersumber dari kesalahan lembaga pendidikan nasional yang dianggap belum optimal dalam membentuk kepribadian peserta didik. Lembaga pendidikan kita dinilai menerapkan paradigma patrialistik karena memberikan porsi besar untuk transimisi pengetahuan, namun melupakan pengembangan sikap, nilai, dan perilaku dalam pembelajarannya.
Atau dengan kata lain, perhatian yang diberikan oleh dunia pendidikan nasional terhadap dimensi pendidikan afektif ini masih kurang, bahkan dapat dikatakan penanganan dimensi afektif masih terbengkalai akibat orientasi pendidikan yang masih condong ke cognitive oriented.
Berkaitan dengan hal tersebut maka pembentukan karakter peserta didik harus dibentuk dari awal artinya prosesnya dimulai dari lingkungan pendidikan keluarga yang paling utama dan pertama sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah , yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
Tugas pendidikan karakter selain mengajarkan mana nilai-nilai kebaikan dan mana nilai-nilai keburukan, yang justru ditekankan adalah langkah-langkah penanaman kebiasaan (habituation) terhadap hal-hal yang baik. Hasilnya, individu diharapkan mempunyai pemahaman tentang mana nilai-nilai kebaikan dan mana nilai keburukan, mampu merasakan nilai-nilai yang baik dan mau melakukannya.
Ungkapan Aristotles, karakter itu erat kaitannya dengan kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan. beberapa contoh perilaku yang menunjukkan individu yang memiliki karakter yang baik di antaranya: memahami dan mematuhi aturan-aturan sosial, menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi, menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, mampu menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab, berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun, memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain, menghargai adanya perbedaan pendapat.
Namun perlu diingatkan, keberhasilan proses pendidikan sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam tujuan pendidikan nasional yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Adalah menjadi tanggungjawab bersama ketiga pusat lembaga pendidikan yang dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Proses pengajaran, pendidikan dan pembentukan karakter individu mempersyaratkan adanya dukungan dari institusi di luar sekolah. Dalam hal ini orang tua, lingkungan masyarakat dan media massa harus memberikan ruangan kondusif bagi proses penanaman nilai-nilai moral, budi pekerti, sehingga terbentuk manusia yang berkarakter baik dan bermartabat yang pada akhirnya menjadi insan kamil.

0 komentar:

Posting Komentar

Aku Anak SDN Sukowiyono 1, JUJUR itu Hebat dan Luar Biasa